Rabu, 27 Februari 2008

.: Penyembuhan Sedih Hati:.

.: Penyembuhan Sedih Hati
Oleh: Ibn Miskawaih

Artikel ini kutipan dari buku Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, terj. Helmi Hidayat (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 185-189.

Kesedihan hanyalah derita jiwa yang timbul akibat hilangnya sesuatu yang kita cintai, atau karena kita gagal mendapatkan apa yang kita cari. Biang keladinya adalah, karena kita serakah pada harta benda, haus pada nafsu-nafsu badani, lalu merasa rugi kalau salah satu dari itu semua hilang atau gagal kita peroleh. Hanya orang yang menduga bahwa segala kesenangan duniawi yang telah diperolehnya bisa kekal dan senantiasa jadi miliknya, atau yang menduga bahwa apa saja yang telah hilang darinya pasti bisa diperoleh dan menjadi miliknya kembali yang akan sedih dan gundah gulana karena hilangnya sesuatu yang dia cintai. Kalau saja dia tahu siapa dirinya, dan tahu bahwa apa saja yang ada di alam-menjadi-dan-hancur ini tidak kekal, dan [yang] kekal itu hanyalah alam pikiran, niscaya dia tak akan lagi bersedih hati karena hilangnya apa yang diingini, atau gagal diperolehnya apa yang diangankannya di dunia ini. Dia akan mengerahkan upayanya ke tujuan-tujuan suci dan hanya mencari kebaikan-kebaikan kekal saja. Dia akan berpaling dari segala yang menurut alamnya tidak tetap dan tidak kekal. Kalaupun diperolehnya kebaikan ini, maka segera hal itu ditempatkannya pada tempatnya yang tepat. Dia hanya akan mengambilnya sebatas yang diperlukannya untuk menghilangkan rasa nyeri dan derita seperti lapar, telanjang atau kebutuhan-kebutuhan mendesak lainnya yang serupa. Dia tidak akan menimbun harta. Dia tidak akan berfoya-foya dan berbangga ria. Sekiranya harta itu lepas dari tangannya, dia tak akan menyesalinya dan tak akan mempedulikannya. Sungguh, orang yang berbuat seperti itu pasti dia akan tentram, tidak gundah gulana, akan gembira, tidak bersedih, akan bahagia, tidak sesak dadanya. Barang siapa tidak menerimanya dan tidak mengobati jiwanya dengan cara ini, dia akan gelisah dan bersedih hati selamanya. Sebab dia tak pernah bisa lolos dari gagalnya memperoleh sesuatu yang dia cari, hilangnya sesuatu yang dia cintai. Kegagalan dan kehilangan seperti itu pasti terjadi di dunia ini. Karena dunia ini tak lain adalah alam-menjadi-dan-hancur. Barang siapa mengharapkan agar sesuatu-yang-menjadi-dan-hancur itu tidak menjadi dan tidak hancur, berarti dia mengharapkan hal mustahil. Barangsiapa mengharapkan hal yang mustahil, selamanya dia akan kecewa. Dan orang yang kecewa selamanya gundah gulana. Orang yang gundah-gulana selamanya sengsara. ....

Al Kindi (796–873 M), dalam bukunya Daf ‘Al-Ahzan (Menyingkirkan Kesedihan), membuat peryataan berikut yang memperlihatkan dengan jelas bahwa kesedihan ditimbslkan oleh manusia dan ditimpakan pada dirinya, dan bukan sesuatu yang alami. Kata Al Kindi: “Orang ysng bersedih hati karena kehilangan miliknya atau gagal memperoleh sesuatu yang dicarinya, kemudian merenungkan kesedihannya secara filosofis, lalu dia mengerti bahwa penyebab kesedihannya itu bukanlah keharusan, lalu dia saksikan banyak orang yang tidak memiliki harta itu tetapi mereka tidak sedih, bahkan gembira dan bahagia, dia tak pelak lagi akan tahu bahwa kesedihan bukanlah hal yang niscaya dan tidak alami dan bahwa orang yang bersedih hati dan menimpakan kejadian itu pada dirinya, pasti dia akan gembira dan kembali pada kondisi alaminya. Bukankah kita telah menyaksikan orang-orang yang kehilangan anak, saudara maupun teman mereka, hingga terlihat betapa sedihnya mereka? Namun tak lama berselang, mereka pun kembali senang, tertawa, bahagia lalu pulih kembali seperti orang yang tak pernah bersedih sama sekali? Begitu pula orang yang kehilangan harta, atau benda apa saja yang didambakan manusia, yang bila benda itu hilang, dia jadi kecewa dan sedih. Orang seperti itu akhirnya gembira, lenyap kesedihannya, lalu bahagia lagi. Kalaulah seseorang yang berakal mau mengamati secara cermat kondisi yang terjadi dalam masyarakat banyak di saat mereka sedih, dan mengamati sebab-sebab yang melatarbelakanginya, dan terlihat olehnya bahwa musibah tertentu tidak hanya menimpa dirinya saja, dan bahwa akhir dari musibahnya adalah kegembiraan, dan bahwa kesedihan adalah penyakit aksidental yang sama dengan keburukan-keburukan lainnya. Maka dia tak akan terkena kejadian buruk, yaitu penyakit yang ditimpakan manusia atas dirinya sendiri yang tidak alami.”

“Orang seperti itu harus ingat keterangan yang telah kami kemukakan sebelumnya tentang orang yang disodori wewangian yang langka untuk dihirup baunya dan dinikmatinya lalu dikembalikan agar orang lain dapat mencium dan menikmati keharumannya, tetapi dia mendambakannya dan mengira bahwa wewangian itu diberikan padanya untuk selamanya, sehingga ketika wewangian itu diambil darinya, dia bersedih hati, kecewa dan marah. Inilah kondisi orang yang mendambakan hal yang mustahil dan orang yang kehilangan akal sehat. Inilah kondisi orang yang dengki, sebab dia ingin menguasai barang-barang dan tak membagikannya pada orang lain; dan dengki adalah penyakit terburuk dan kejahatan paling busuk. Oleh sebab itu, para filosof berkata: “Barang siapa ingin supaya musuhnya ditimpa keburukan, berarti dia menyukai keburukan. Orang yang suka akan keburukan, berarti dia penjahat!” Yang lebih jahat dari ini adalah orang yang ingin agar keburukan menimpa orang yang bukan musuhnya. Orang yang ingin agar kebaikan yang dimiliki teman-temannya sirna, berarti dia menghendaki agar temannya ditimpa keburukan.”

“Konsekuensi dari keburukan-keburukan ini adalah orang bersedih hati di saat orang lain memperoleh kebaikan, lau dengki pada mereka karena mereka mendapat kebaikan. Tak soal apakah kebaikan-kebaikan itu berupa milik kita atau bukan milik kita. Sebab, hal-hal ini lazim bagi manusia secara keseluruhan. Allah mengamanatkannya pada makhluk-makhluk-Nya, dan Dia berhak mengambil kembali amanat ini kapanpun dan melalui orang apa pun yang diinginkan-Nya. Bukanlah tindakan yang memalukan dan tercela sekiranya kita mengembalikan kebaikan-kebaikan ini. Yang memalukan dan tercela justru kalau kita sedih karena pinjaman ini diambil dari kita. Ini merupakan kufur nikmat. Sebab, paling tidak yang wajib kita lakukan sebagai tanda syukur kita pada pemberi pinjaman adalah mengembalikan pinjaman itu pada pemiliknya dengan suka hati, dan segera mengembalikannya kalau dia minta. Apalagi jika pemiliknya itu meminjamkan sesuatu yang paling baik bagi kita, tapi waktu diambil kembali sudah usang.”

Menurut Al Kindi : Yang saya maksud dengan yang terbaik dan termulia adalah apa yang tidak dijangkau tangan, dan tak seorang pun selain kita memilikinya, yakni jiwa dan akal serta keutamaan-keutamaan yang dikaruniakan pada kita, sebagai anugrah yang tak akan diminta lagi.” Selanjutnya Al Kindi berkata :”Kalau seperti tuntutan keadilan Dia meminta kembali lebih sedikit dan kurang berarti, Dia membiarkan kita memiliki bagian lebih baik dan lebih banyak, dan jika kita bersedih hati disetiap kali kita kehilangan, niscaya kita akan selamanya bersedih hati. Oleh karena itu, seseorang yang berakal hendaknya tidak memikirkan hal-hal yang mudarat dan memedihkan, dank arena hilangnya harta menyebabkan kesedihan hati, maka dia hendaknya memilikinya sesedikit mungkin. Suatu ketika Socrates ditanya orang, apa yang menyebabkannnya selalu bersemangat dan jarang bersedih. Socrates menjawab : “Karena saya tidak mencari hal-hal yang kalau hilang akan membuat saya sedih!”
Referensi by:http://alimia.jeeran.com

0 komentar: