Rabu, 27 Februari 2008

.: Takut Mati: Penyebab dan Penyembuhannya

.: Takut Mati: Penyebab dan Penyembuhannya
Oleh: Ibn Miskawaih

Artikel ini kutipan dari buku Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, terj. Helmi Hidayat (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 185-189.

Sesungguhnya, takut akan kematian hanya menghantui orang yang tidak tahu apa mati itu; atau orang yang tidak tahu ke mana sebetulnya jiwanya itu akan pergi nanti; atau orang yang salah menduga bahwa tubuhnya dan jiwanya akan hancur sehancur-hancurnya dan lenyap tanpa bekas, dan bahwa dunia akan kekal, seperti yang selama ini diduga oleh orang yang tidak tahu bahwa jiwa itu kekal dan tidak tahu akhirat; atau orang yang menduga bahwa dalam kematian ada penderitaan yang sangat menyakitkan, yang tidak sama dengan penderitaan yang pernah dialaminya, yang menjadi penyebab kemusnahannya; atau orang yang yakin ada siksa yang bakal menimpanya setelah mati; atau orang yang bingung, tak tahu apa yang akan dihadapinya setelah mati nanti; atau orang yang sayang harta sehingga sedih kalau hartanya itu akan ditinggalkannya. Seluruh prasangka itu adalah salah. Tak terbukti sama sekali. ....

Orang yang takut mati itu karena dia tak tahu kemana jiwanya akan pergi. Atau karena dia berasumsi bahwa kalau tubuhnya sudah hancur, maka hancur pulalah esensinya, dan hancur pulalah jiwanya. Dia tak pernah tahu kekekalan jiwa dan akhirat. Oleh sebab itu, sebenarnya dia bukan takut mati, melainkan tidak tahu apa yang seharusnya dia tahu. Kalau begitu, ketidaktahuan inilah yang sebetulnya menakutkan. Sebab, ketidaktahuan itu menjadi biang timbulnya ketakutan. Ketidaktahuan inilah yang kemudian mendorong para filosof menuntut ilmu, berlelah-lelah mencarinya, dan demi ini pulalah mereka tinggalkan semua kenikmatan tubuh. Mereka memilih berupaya keras belajar. Menurut mereka, kesenangan yang membuat kita bebas dari kebodohan adalah kesenangan sejati. Lelah yang sesungguhnya adalah lelah yang disebabkan ketidaktahuan. Sebab, ketidaktahuan tak ubahnya seperti penyakit menahun jiwa. Kesembuhannya membuat jiwa selamat, dan merasa nikmat selalu. ....

Barangsiapa takut kematian alami yang pasti melanda manusia, berarti dia takut terhadap apa yang mestinya didambakan. Sebab, kematian ini sebenarnya merupakan perwujudan dari apa yang tersirat dalam definisi tentang manusia, yaitu dia adalah makhluk hidup, berpikir dan akan mati. Maka kematian justru merupakan kelengkapan dan kesempurnaan manusia. Lewat kematian, manusia mencapi bidang kehidupannya yang paling tinggi. .... Maka adakah kini manusia yang lebih bodoh dibanding manusia yang takut pada kesempurnaannya sendiri? Adakah kini manusia yang lebih merana dibanding manusia yang menduga bahwa kefanaannya ada dalam kehidupannya, dan kekurangannya ada dalam kesempurnannya? Karena, kalau manusia yang tak sempurna takut menjadi sempurna, maka itu menunjukkan bahwa dia terlalu bodoh. Oleh sebab itu, manusia yang berakal haruslah sedih bila dirinya tak sempurna, dan senang bila sempurna. Dia harus mencari apa saja yang bakal menyempurnakan dirinya, yang dapat meninggikan derajatnya dan membebaskan dirinya sedemikian rupa sehingga dirinya tidak menjadi tawanan. Dia harus juga percaya pada fakta bahwa bila substansi Ilahi yang mulia ini terlepas dari substansi jasadi, hingga berada dalam kemurnian dan kejernihan bukannya dalam kekeruhan, maka substansi itu bahagia dan kembali ke alam malakutnya, dekat dengan Penciptanya, berada bersama ruh-ruh yang baik, serta bebas dari kebalikan-kebalikan dan yang asing baginya. Dari sini dapatlah dimengerti bahwa jiwa ketika berpisah dari tubuhnya masih mendambakan tubuh dan takut meninggalkannya, maka akan sangat sengsara dan jauhlah jiwa itu dari esensi dan substansinya sendiri. Ia akan terjauhkan sejauh-jauhnya dari tempat kediamannya sendiri, dan ia akan mencari kedamaian yang takkan pernah didapatnya.

Adapun orang yang berpendapat bahwa kematian membawa penderitaan teramat berat, yang jauh melebihi penderitaan akibat penyakit yang mungkin pernah dialaminya sebelumnya, dan yang menghantarkannya pada kematian, maka terapinya adalah menjelaskan bahwa pendapatnya itu tidak benar, sebab penderitaan hanya dialami oleh makhluk hidup. Makhluk hidup dapat terpengaruh jiwa. Adapun tubuh yang tidak lagi terpengaruh jiwa, tidak akan menderita atau merasakan. Kalau begitu, kematian, yang tadi dijelaskan sebagai perpisahan jiwa dari tubuh, tidak membawa rasa sakit atau penderitaan, karena tubuh akan menderita dan merasakan apabila dipengaruhi jiwa. Maka, apabila ia sudah menjadi tubuh yang tak lagi dipengaruhi jiwa, ia pun tak akan bisa merasakan dan menderita. Dengan begitu jelaslah bahwa kematian, adalah kondisi tubuh di mana tubuh tidak merasakan dan tidak menderita, lantaran kondisi ini melibatkan hilangnya apa yang dirasakan dan diderita tubuh.

Terhadap orang yang takut mati karena siksaan yang menimpanya, kita harus menerangkan padanya bahwa sebenarnya bukan kematian yang dia takuti, melainkan siksaan itu. Siksaan seperti itu diderita hanya oleh sesuatu yang tetap hidup setelah hancurnya badannya. Barangsiapa mengakui kekalnya sesuatu setelah hancurnya badan, maka dia niscaya mengakui bahwa dia telah melakukan perbuatan-perbuatan keji sehingga dia patut dihukum. Sekaligus dia mengakui eksistensi Penguasa Yang Maha Adil, yang hanya akan menghukum pelaku perbuatan keji bukan pelaku perbuatan baik. Dengan begitu, sebenarnya dia takut pada dosa-dosanya sendiri, bukan pada kematian!

Barangsiapa takut disiksa karena berbuat dosa, maka jauhilah perbuatan dosa. Perilaku rendah yang disebut dengan dosa itu hanya lahir dari watak yang buruk. Sedangkan watak buruk itu dimiliki oleh jiwa, begitu pula keburukan-keburukan dan juga kebalikannya yaitu kebajikan. Dengan demikian, orang yang takut mati karena alasan ini, berarti dia belum tahu apa yang seharusnya dia takuti, berarti dia takut pada sesuatu yang tidak perlu ditakuti. Obat untuk tidak tahu adalah tahu. Kalau begitu, hanya kearifanlah yang membebaskan kita dari penderitaan dan dugaan salah ini, yang merupakan aibat dari ketidaktahuan. Hanya Allah lah yang akan membawa ke apa yang baik. ....

Kalaupun ada orang yang berkata bahwa dia tidak takut mati, tapi cuma sedih meninggalkan keluarga, anak, harta, keturunannya dan seluruh kesenangan duniawi, maka harus kami katakan padanya bahwa yang kesedihan adalah mengantisipasi derita dan keburukan, dan bahwa kesedihan seperti itu tak membawa manfaat sama sekali. Dalam bab tersendiri akan kami bahas kesedihan hati ini.
Referensi by:http://alimia.jeeran.com

0 komentar: