Selasa, 26 Februari 2008

Orang-Orang Syurga

Kami terusir lagi. Pemerintah lokal Evosmos sepakat menendang ribuan etnis kami dari daerah juridiksi. Banyak orang menangis. Ini tak ada habisnya. Bertahun-tahun. Berpuluh tahun. Lelah. Tak tahan. Kenapa harus kami yang diperlakukan begini?
“Sampai kapan Yunani akan membenci kita?”
“Ke mana kita harus pergi?”
“Apa salah kami, Pak? Apa salah kami?!”

Wajah penguasa tidak sudi berubah. Benci dan terasa makin bengis saja pada kami. Pertanyaan hati dijawab dengan tangan besi. Main hardik, main badik. Caci maki bermuntahan lebih tajam dari timah panas manapun; melukai hati, membunuh harga diri. Sudah lama seperti itu. Sebelum hari ini, beragam tindakan telah menyisir kami secara rasis. Kami tidak mendapat pelayanan kesehatan, pendidikan, bahkan hak untuk diperlakukan secara manusiawi. Semua itu tidak kami dapatkan. Tidak seperti orang-orang asli negeri ini. Etnis kami adalah etis komedi pahit. Lelucon yang sadis—sebab kami melawak dengan adegan terjatuh, tersungkur, kesakitan. Slapstick. European dark skin, orang bilang.

“Yah, kita sekarang mau pergi ke mana?”
“Ayah dengar sementara kita akan ditampung di lokasi bekas camp latihan militer, Nak.”
“Berapa lama?”
Ayahku tak menjawab. Hanya menatap nanap ke arah Ibu yang tertatih-tatih; berusaha terus berjalan dengan membawa perutnya yang melembung besar. Kendati sudah dipapah, kehamilannya sangat menguras energi. Apalagi—kata Ayah—kandungan Ibu sudah masuk hari-hari yang rawan. Kemungkinan besar akan segera melahirkan. Aku masih ingat: Ayah begitu mendung saat menceritakan hal itu.
***

Aku ingin menengok masa lampau yang masih tampak buram. Kejadian hari ini pastilah berhubungan dengan sejarah. Silam. Mendapatkan perlakuan diskriminatif di usiaku yang hijau, bukanlah hal yang wajar dan bisa kuterima tanpa terbersit dua tiga ribu pertanyaan. Tak lazim. Mau tak mau, enggan tidak enggan, bertanya jadi pilihan. Kewajiban yang dituntut benak dan nurani. Siapa dan ada apa?

“Ayah tak tahu pasti, Nak. Tapi… sedikit banyak Ayah tahu.”
“Berceritalah, Ayah. Aku ingin dengar.”
Ayah memijiti pergelangan kaki Ibu. Kami tengah beristirahat. Bersama ribuan etnis kami lainnya, malam ini makhluk-makhluk berjuluk dingin mengigiti kulit. Menyusup ke pori-pori dan mengerutkan serabut syaraf—hingga mengerdil atau mengigil aneh. Tak ada fasilitas apa-apa untuk membaringkan tubuh, apalagi tidur. Cuma tanah dan batu-batu. Kasur? Alas penghangat badan? Mustahil saat ini. Terlalu mahal atau terlalu mewah untuk nyawa-nyawa kami.

“Merebahlah, Nak. Kau pasti lelah, bukan?”

Aku mengangguk. Meratakan tulang belakang, agak ke kanan—persis di samping Ibu. Menatap langit yang disesaki awan-awan. Agak kelabu—menghalangi bintang menghiasi angkasa dari pandangan. Semoga tidak turun hujan. Kalau takdir berkata lain, besar peluang sebagian besar dari kami akan basah kuyup. Tak ada apa-apa di sini. Tenda-tenda yang berdiri tidak menjamin. Sudah penuh dengan berjejal jantung-jantung para orang. Lihat saja kami. Tak kebagian. Seolah ibu hamil dan satu orang bocah sepertiku terlalu banyak. Dalam keadaan terdesak atau tertekan, orang-orang akan menunjukan sikap asli mereka. Yang egois akan mau menang sendiri, yang rapuh akan menangis, yang tabah akan tetap beradab dan memancarkan pribadinya nan mengagumkan.

“Ayah pernah dengar, etnis kita berasal dari India, Nak. Tapi, tepatnya di mana, Ayah sangat kabur. Yang jelas, dari wilayah konfederasi Rajput.”

“Apa itu konfederasi, Ayah? Dan, di mana India itu?”

Ayah tertawa. Tak tahu, utasnya jujur. Beliau begitulah. Sosok yang melupakan bohong untuk sekian lama. Bila Ayah tak tahu jawaban dari sebuah masalah, maka beliau tak akan segan untuk berkata tidak tahu atau mengendikan bahu Begitupun sebaliknya. Aku ikut terkekeh—walah sedikit. Sekali lagi, ada getir yang tertoreh pelan di sana. Ini masalah pendidikan yang senjang. Tertutup bagi kami. Dari zaman Kakek, Ayah… aku. Mungkin lebih lama dari itu dan mungkin akan lebih lama lagi.

“Mau Ayah lanjutkan, Nak?”
“Ya, Ayah. Tentu saja.”
“Tapi, jangan banyak bertanya, ya?”
“Baiklah.”

Gaun bulan terus merangkak. Angin berembus seraya memainkan senandung rangkak. Lidah Ayah masih berujar cerita. Tentang pengembaraan yang harus ditempuh etnis kami ketika terjadi perang panjang, penjarahan, dan penghancuran berkali-kali oleh kekaisaran Ghaznavid. Etnis kami harus hengkang pada (sekitar) tahun 1192. Terpaksa. Terancam masuk siklus perbudakkan dan pembantaian menjadi kecemasan kolektif. Siapa yang mau? Rasanya tidak ada.

Di episode berikutnya, nasib lain berkata pada kami. Kami—yang tadinya pergi serempak bersama-sama—terpecah. Ada yang menuju selatan, tapi tidak sedikit yang menuju ke barat India. Ke utara juga ada. Bahkan menurut kabar yang beredar, mereka berhasil mencapai lembah Upper-Indus melewati Kashmir. Lagi-lagi, jadi pengungsi.

“Setidaknya kita aman dari kekejaman kekaisaran Ghaznavid ’kan, Yah?”

“Kata siapa? Etnis kita masih disergap perasaan waswas, Nak. Kita dirundung kekhawatiran karena tentara Ghaznavid terus melakukan pengejaran—mengancam keselamatan kita.”

“Lalu?”
“Kita harus menyingkir dan mengalah menuju Persia. Dari negeri Persia, kita lalu memasuki daerah kekaisaran Trebizond—yang masyarakatnya berbahasa Armenia.”

“Bermukim?”
“Iya, tapi…”
“Tidak lama, bukan? Persis seperti keadaan kita sekarang, kan?!” Aku menukas cepat. Ayah cuma tersenyum samar. Tak keberatan kalimatnya kupangkas sampai segitu. Tak lama, tangan kasar miliknya mengusap kepalaku lembut. Pelan.

“Bersabarlah, Nak. Bersabarlah….”
“Aku bisa bersabar kok, Yah. Tapi aku bingung dengan kondisi Ibu. Bingung dengan adik bayi yang mau lahir. Nanti bagaimana kalau kita diusir lagi dari sini? Keadaan Ibu kan masih lemah….”

Ayah terhenyak. Aku kira begitu. Sekejap air mukanya berubah gundah. Aku jadi merasa bersalah. Untuk selanjutnya kukatupkan saja mulut ini. Kukancingkan saja sampai nanti pagi. Sekiranya masih tersisa pertanyaan, keluhan atau kecemasan yang menyapa di sisa malam itu, aku menyimpannya di kantong baju lusuhku. Lebih baik tak kuungkapkan sekarang. Sudah saatnya aku juga merasa kasihan pada Ayah.
***
“Ayah, kita tidak berhenti di Trebizond, bukan?”
“Oh, iya. Semalam belum selesai, ya?”

Aku berusaha keras sunggingkan senyum. Di tengah kerumunan orang-orang yang terusir, berubah tempramental atau tertekan adalah hal yang biasa. Stres, sakit kepala, atau menjadi gila adalah resiko yang dijejalkan kepada kami setiap hari. Berdansa tango di sekeliling risiko. Hidup segan, mati pun tidak mau. Mengambang di antara dua garis yang tak jelas. Aku tak mau begitu. Ayah sepertinya juga tak mau. Beliau cukup tabah sehingga tak larut dalam pemikiran atau perenungan yang tak berujung.

“Tak lama,” Ayah mengajakku pergi agak menjauh dari Ibu yang tengah beristirahat, ”karena ada perang, kita kembali terpaksa pindah, Nak. Menyingkir ke kekaisaran Byzantium menjadi satu-satunya pilihan. Kita kemudian memang menuju Konstantinopel dan menetap di sana. Kalau sekarang, daerah itu sudah berganti nama menjadi Istanbul,” tutur Ayah sembari sesekali memandang ke arah Ibu. Ibu butuh banyak ketenangan. Untuk itulah Ayah merangkulku menjauh dari tenda untuk melanjutkan ceritanya. Semalam, syukurlah dua orang pemuda yang baik hati menawari Ibu untuk menempati tempatnya di dalam sebuah tenda. Nampaknya dunia ini belum kehilangan orang-orang yang berjiwa mulia sepenuhnya.

“Di sini, etnis kita belajar banyak hal, Nak. Salah satunya bahasa Yunani. Di sini pulalah sistem kasta dalam etnis kita lenyap, bersamaan dengan terjadinya pernikahan silang antar keluarga-keluarga luas yang meninggalkan India. Mmm… di daerah ini jugalah etnis kita mulai berbicara dalam bahasa proto-Romani,” ungkap Ayah terus menerus—seolah tak mau berhenti. Kata-katanya padat dan jarang diselingi spasi. Sepertinya pada bagian ini, Ayah cukup paham jalan sejarah. Aku berusaha keras agar tidak ketinggalan ceritanya. Sekalinya aku kehilangan alur cerita Ayah, aku mendengar suara berderit dari arah perut beliau. Ayah lapar. Seperti aku. Tapi, Ayah tak mau mengatakannya di depanku—pun mengakuinya terang-terangan; melenguh, mengeluh, atau mencibirkan keadaan yang serba minus. Dalam diam aku kagum. Mungkin begitulah aku seharusnya kelak; saat jadi laki-laki dewasa atau mengepalai sebuah keluarga. Tangguh demi tanggung jawabku sebab memang begitulah persamaannya. Dijadikan laki-laki lebih kuat bukan untuk merendahkan atau mengintimidasi wanita, tapi untuk mengayominya. Melindunginya. Semua sudah ada jalannya. Sudah ada kodratnya.

“Ngg…”
“Ada apa, Nak?”
“Sehabis itu, apakah kita diusir lagi, Yah?”

“Bukan diusir,” Ayah tersenyum kecut, ”tapi terusir. Perang terjadi lagi sehingga Byzantium hancur. Ambruk. Yaa, terpaksa kita harus menyingkir lagi sebab kondisi. Situasi tak memungkinkan untuk kita bertahan terus di sana, Nak. Selanjutnya, etnis kita menempuh perjalanan yang panjang ke kawasan Balkan. Tepatnya pada abad ke-13. Perlahan, kita pun menuju ke daerah Rumania. Dari sana, kita menyebar menjadi kelompok-kelompok kecil ke segala penjuru arah. Setiap kelompok punya pemimpin yang akan membimbing dan memutuskan: apakah mereka akan tetap tinggal atau tidak pada daerah yang mereka datangi….”

“Terus, Yah?”
Belum sempat Ayah membuka mulutnya, vibra Ibu berlemparan di udara. Pita suaranya bergetar lirih. Gendang telinga Ayah segera menangkap bunyi cemas itu—lalu tersentak. Aku juga. Kami berdua serempak menengok ke arah tenda Ibu. Hati ini berdegup kencang sekali. Bergegas kami memburu dan melarikan kaki-kaki. Langkah-langkah berkejaran. Ibu kelihatan pucat. Lemah. Pias. Dahinya berpeluh gara-gara menahan sakit yang amat. Beliau terus memegangi perutnya sambil memekik pelan.

”Kenapa, Safa?!”
”Perutku… perutku…”
Mata Ayah bersiborok dengan mataku. Saat itulah aku tahu: Ibu akan melahirkan. Astaga. Sekedip itulah rasa takut menggurita di segenap jiwaku. Aku mulai cemas dan semakin cemas pada jengkal-jengkal waktu berikutnya. Setumpuk hal mulai kupertanyakan; tak bisa kutaklukkan. Misalnya… siapa yang akan membantu persalinan Ibu di tengah camp pengungsian seperti ini?! Butuh keajaiban untuk menemukan seorang ahli medis sekarang. Pun mayoritas orang-orang dari etnis kami adalah orang-orang yang tidak mengenyam bangku sekolah. Sekali lagi, bukan tak mau, tapi tidak diperbolehkan. Etnis kami memang terlalu mudah dizalimi. Tidak seperti etnis Turki yang memiliki negara induk, kami tidak punya satu pun negara yang sudi melindungi kami. Yang mau berjuang membela kami—bila pemerintah pemimpin negeri ini memperlakukan etnis kami secara tak adil. Perlakuan buruk sekecil apa pun terhadap etnis Turki di Thrace Barat—umumnya mereka memang bermukim di sana—pasti akan memicu kemarahan Istanbul. Namun, pemerintah negeri mana yang mau marah untuk kami? Negara mana?!

Aku sempat sedikit tahu dari Kakek—satu minggu sebelum kematiannya yang sangat tenang—kalau etnis kami pernah mengidentifikasi diri sebagai orang Turki. Dulu, jauh sebelum hari, minggu, bulan, dan tahun ini. Usai perang Turki-Yunani pada tahun 1923. Ide itu terbetik karena dipicu oleh perjanjian Laussane—yang mengakhiri perang di antara kedua negara yang bersangkutan. Namun, Yunani—dalam hal ini—terlalu keras. Strategi itu gagal total. Pada akhirnya, pemerintah kembali pada sikapnya yang tak ramah; tak kunjung sudi mengakui kami sebagai warga negara.

“Aaaaakhhhh! Ukkkh…. uhhhh!”
“Bertahan, Safa! Bertahanlah!”
“Aku tak tahan lagi
“Adakah yang bisa membantu istriku melahirkan?! Ada tidaaak?!!” Ayah kalap. Lengkingannya menjulur ke seluruh penjuru lokasi pengungsian. Syukurlah ada ruh-ruh bertubuh yang segera terpanggil di antara orang-orang yang cuma termangu—tak tahu harus bagaimana menyikapi permintaan Ayah. Aku menahan nafas. Aku merasa jadi makhluk paling tak berguna. Hanya sanggup nanar melihat dari pintu tenda pemandangan itu; pemandangan di mana ibuku meregang nyawa untuk mengeluarkan adikku dari rahimnya. Orang-orang yang membantu persalinan menelan ludah getir. Pendarahan banyak sekali. Bahkan terlalu banyak. Tapi, dengan apa harus menghentikannya?

Mungkin, inilah pertama kali di pengungsian ini kami bersama-sama melupakan soal kemalangan yang mendera kami. Rasa lapar, homeless, atau terbuang. Soal-soal itu menguap dan bersenyawa dengan harapan-harapan langit yang menyergap kami; tak lagi punya sifat atau karakter yang sama. Hilang. Musnah. Nyawa seseorang tengah di ujung jurang. Ayah melantunkan doa-doa terhebat yang bisa beliau rangkai—seraya terus mengusap keringat yang menjentik di kening Ibu. Menyemangatinya. Aku gemetar. Ada seorang laki-laki yang menyuruhku keluar. Tak baik katanya. Aku bersikeras tinggal.

Dia tak bisa memaksa. Entah kenapa aku tak ingin pergi dari tempatku berpijak. Melihat ibuku meronta, berteriak-teriak—sampai kukira tenggorokannya telah terbagi dua, bersimbah darah, membuatku tak tahu harus bernyali seperti apa. Berani seperti apa.

Aku memejamkan mata. Aku yakin: malaikat maut tengah berkunjung ke tenda ini. Itulah sebabnya aku berdoa dengan khidmat. Aku berharap doaku mampu mengusir malaikat itu agar tak mengambil hidup ibuku. Mungkin lain kali, tapi bukan sekarang. Jangan sekarang….
***

Ayah hanya berdiri mematung. Dengan kedua tangannya yang kokoh, beliau menggendong adik baruku. Memandang senja yang mulai pentas di ufuk barat. Panas yang kandas dipudar malam. Sedari tadi hanya begitu saja. Matanya kosong. Bulir-bulir air asin memburai dari pelupuknya.

“Safaaa!”
Ayah berteriak. Aku menunduk dan tak kuasa menahan air mata yang merayap pelan dari dua pelupuk. Ibuku benar-benar telah pergi. Dijemput malaikat untuk bertemu Sang Maha Pengasih. Duka selaksa. Kesedihan meradang dalam jiwa. Meranggas bahagia yang sekiranya hadir untuk adik tercinta. Adik bayi yang mungil dan tak tahu apa-apa. Bukan salahnya Ibu pergi, pun bukan karena doa Ayah dan aku tidak dikabulkan. Ini sudah takdir. Kami, sebagai manusia, tak punya daya sekejap saja guna menyangkalnya.

Ayah terpekur terus. Aku memutuskan untuk menghampirinya. Bukan untuk berbicara padanya, tapi untuk mengarang paragraf bingung bersama-sama. Kematian Ibu membuatku bimbang. Gamang. Mengenai Ayah, aku dan adik bayi. Sehabis ini, bagaimana nasib kami? Ahh, adikku sayang, adikku malang. Jangankan dia yang belum mengerti apa itu kesulitan hidup, orang-orang dewasa dari etnis kami pun sering merasa tak sanggup menjalaninya lagi. Mungkin itu yang kini dialami Ayah. Beliau murung untuk banyak hal.

“Yah?”
“...”
“Ayah?”
“Apa, Nak?”
“Adik bayi sudah diazani belum?”
Ayah menggeleng. Hatiku perih. Apa sebaiknya adikku memang tak usah diazani? Ya, mungkin dia lebih baik tak usah jadi seorang muslim. Menjadi seorang muslim bagi makhluk sekecil itu—di tanah asing ini—mungkin hanya akan membuatnya menderita lebih dahsyat. Mati lebih cepat. Menyusul Ibu. Melepas nyawa. Kalaupun dia hidup, akulah orang pertama yang tidak tega. Sangat mungkin adikku akan mendapatkan masalah yang sama seperti kami sebelum dia beranjak dewasa atau mungkin sebelum dia mengerti kata kenapa. Dihina, dicemooh, dikucilkan. Tiada mendapat pendidikan yang layak, kesehatan, tempat tinggal, bahkan kebebasan menjalankan agamanya. Dicap macam-macam. Pemalas, penyelundup, mafia, dan segala macam nama yang berkaitan dengan dunia kebejatan. Entah untuk sejarah dan bukti yang apa. Main tuduh saja.

“Yah?”
“...”
“Ayah?”
Ayah masih menangis dalam sunyi. Ketika aku sudah memutuskan untuk berhenti memanggilnya, beliau dengan perlahan mengazani adikku. Mataku kembali berembun. Ayah sudah menentukan. Ayah sudah meniatkan. Adik baruku akan jadi seorang muslim, seperti kami. Beliau akan mengajarinya ketauhidan, kerasulan, dan Islam.

“Menjadi muslim memang berat, Nak. Ayah tahu itu, kamu tahu itu. Beriman dalam Islam bukan sekadar bicara beriman pada Allah dan rasul-Nya, pada malaikat-Nya, pada kitab suci dan hari kiamat, dan pada qada dan qadar-Nya. Ya, tidak sekadar itu, tapi juga mengimani resiko kejahatan yang selalu mengintai kita di depan. Itulah yang kita hadapi sebagai etnis Atsingani, golongan terusir dan beragama muslim. Ke manapun kita, maka akan ada selalu orang-orang kafir yang membenci kita. Namun… dengarlah: sebiadab apapun mereka, sekejam apapun mereka menekan kita, Islam harus tetap di dalam dada kita, Nak. Kapan kita mati itu tidak penting bagi seorang muslim. Yang penting adalah bagaimana cara kita mati; apakah kita mati dalam keadaan beriman atau tidak. Tenanglah…. kita akan baik-baik saja. Ayah, kau dan adik barumu. Kita mungkin tak punya rumah yang tetap di atas bumi ini, tapi semoga saja Allah sudi membangunkan kita sebuah rumah di surga nanti….”

Aku mengangguk untuk mengenyahkan kesalahanku. Ya, sesulit apapun hidup kami di masa depan, kami tetap dan harus tetap menjadi seorang muslim. Sampai di mana pun. Sampai kapan pun.

Sumber: http://www.ummigroup.co.id/annida

0 komentar: